Oleh: David Efendi (Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah)
Kalau Kishore Mahbubani(2009) bertanya retorik Can Asians Think? Saya mempertanyakan secara verivikatif bisakah kaum muda bekerja untuk keadilan ekologi. Kalau skill berfikir, saya kira semua makhluk punya kqpasitas sejenis sehingga saya tak menaruh sedikitpun kerqguan pada kaum muda (la raiba fii).
Faktanya keterlibatan kaum muda meluas satu dekade terakhir ini. Terdapat jutaan kaum muda andil dalam pemogokan pelajar yang berpusat pada resonansi Greta Thumberg sejak lima tahun lalu. Lainnya, ada ribuan jumlahnya mengupayakan imajinasi peacefull life bersama alam dan manusia.
Basis nilai kaum muda untuk menekuni persoalan lingkungan hidup pun beragam, ada yang agama, adat, rasa cinta, solidaritas insani, solidaritas alami(flora fauna), ketaqwaan ilahi, dan juga karena nilai oposan yang geram pada keserakahan oligarkisme global. Sebagian karakter kegiatannya adalah think globally, act locally.
Organ-organ transformasi sosial independen yang bergerak di bidang lingkungan didominasi kaum muda baik di level indonesia, regional atau global. Ada juga gerakan lingkungan basisnya dari ketersediaan uang orang kaya(philantropcapitalist) dan basis kampus . Sisanya kaum muda di negeri ini memilih jadi buzzer untuk legitimasi kerusakan lingkungan baik yang silent mayority terhadap omnibuslaw atau yang terang terangan menjadi proponen gerak oligarkis berkedok UU Ciptaker dan perpunya.
Baca Juga : 5 Pesan Ekologis Bagi Para Partai Politik
Kekuatan hebat yang musti dihighlight adalah bahwa kelompok muda demokratik dan ekologis sangat dipengaruhi oleh karakter anti kekerasan, lebih otonom, dan berdaya kreatif yang sangat utama di dalam mengekpresikan tuntutannya dan bahkan lebih dewasa menghadapi represifitas aparat dalam gelaran aksi aksi damainya.
“Pekerjaan rumah” besarnya adalah bagaimana bekerjanya kaum muda itu bisa signifikan, relevan, dan berdampak meluas karena yang dihadapi adalah jangkar besar pengabaian hak hak lingkungan dan hak asasi manusia secara TSM(terstuktur, sistemik, masif) dan dilindungi rezim pendisiplinan yang anti kemanusiaan dan nirekologis. Menjadi selalu relevan adalah kekuatan pemenang hidup di abad 21 (Yuval Noah Harari, 2020) selain kekuatan agama juga tak pernah bisa dianggap sepele.
Kaum muda yang menekuni bidang subtansialisasi demokrasi dengan kaum muda dalam gerakan keadilan lingkungan sudah
Kekuatan solid gabungan beragam isu dan agama dapat mendorong perubahan lebih radikal, cepat, dan TSM. Keberadaan kaum muda yang populasi pemilih hingga 40% tentu sanngat kuat membangun political bargaining, political resistance, bahkan political disobeydiance jika kondisi memaksa revolusi.
Tahun 2024 adalah momentum pemilu serentak yang dalam kompetisi elektoral ini rakyat dan kaum muda memilih orang yang memegang kuasa politik, penentu kebijakan, pembuat aturan main sekaligus merangkap sebagai pemainnya.
Dua dekade pemilu, isu kerusakan lingkungan tak pernah jadi materi diskusi pemenangan pasangan capres cawapres atau caleg. Hal sama terjadi pada kompetisi berebut raja raja di daerah dalam pemilukada.
Pemilu 2024 harus direbut kaum muda yang berjuang di jalur demokrasi baik elektoral atau sumber daya alam/ekosentrisme. Mereka perlu bikin kontrak politik lingkungan dgn kandidat capres cawaspres caleg di berbagai level. Kontrak politik lingkungan ini penting karena tiga alasan utama.
Pertama, populasi pemilih pemula yang besar dan signifikan dimobilisasi demi perubahan demokratis baik dalam tata kelola alokasi kebijakan (regulator), akses-kontrol terhadap sumber kesejahteraan(keadilan sumber daya, dan keadilan iklim atau lingkungan (ecojustice) . Kedua, kaum muda sangat berkebutuhan mempertahankan SDA demi keadilan antar generasi. Beruntung nalar sehat, jika ditanyakan kepada kaum muda belia tak satupun yang akan secara suka rela mau diwarisi ekosistem yang rusak hingga bernafas pun membutuhkan harga tak murah. Ketiga, banyak masalah krisis lingkungan di dekat kaum muda yang nyata dirasakan:6 pemanasan, kekeringan, gagal panen, mikroplastik, over karbon, pandemi, kegagalan teknologi, dan gangguan kesehatan lainnya. Kaum muda punya potensi membebaskan buminya dari keserakahan, penambangan, sekaligus menata tata hidup yang berkeadilan bagi semua secara demokratis.
Bebas dari pembangunanisme artinya bebas dari ancaman krisis sosioekologis yang tak tertahankan. Rezim yang memanjakan dan over0 confidence terhadap rencana pembangunan artinya merasa bisa atasi kegagalan ekologi akibat teknologi dan represifitas atas ham demi proyek infrastrukrur atau protek foodestate. Atas nama perencanaan seolah ada garansi akan keberhasilan 100% dengan rezim pengetahuan tertentu. Wajar apatisme terhadap planned development meluas dan muncul gerakan “pembangunan” tanpa teori sebagai kritik atas kegagalan rezim kerja kerja kerja atau meluasnya gagasan Vandana Shiva, bebas dari pembangunan, untuk membela perempuan dan alam yang dijadikan pusat obyek kekerasan pembangunanisme di berbagai negara.
Ada pun Isi kontrak yang saya coba sarikan dari beragam sumber diskusi selama ini antara lain setidaknya mencakup perihal:
- Komitmen impl3m3ntasi hasil forum2 dunia ttg iklim dan biodiversitas
- Sanksi berat bagi perusak lingkungan bagi siapa saja hukum lingkungan harus ditegakkan.
- Mencabut uu/perpu/perda yang spiritnya oligarkis- anti ekologis
- Memastikan komitmen yang nyata bagi pasangan presiden dan caleg dibarbagi lapisan untuk mengutamakan aspek keadilan semesta dibandingbkepentingan ekonomi pasar kapitalistik
- Kriteria pasangan presiden dan caleg yang harus bebas segala jenis korupsi (korupsi pajak, SDA, perizinan, KKN lainnya)
Kepada siapa teken kontrak?
Kepada partai dan pasangan capres untuk level nasional. Di daerah bisa dengan logika yang sama untuk mengendalikan rezim kepengaturan yang bisa mengancam alam atau keanekaragaman hayati. Karena kecenderungan sentralisasi kekuasaan maka kontrol harus diperkuat dari pemuda CSO: ngo, pemuda agama, ormas, pendidik, warga muda dan yang bersemangat muda-perubahan.
Kekuatan revolutif kaum muda harus dibaca swbagai kekuatan demokratik sejati dimana saat ini desentralisasi atau sentralisasi sudah blur batas demarkasinya. Gagasan awal desentralisasi bisa membendung daya rusak lingkungan ternyata tak kuasa terjadi akibat praktik sentralistik dan oligarkisme kepartaian yang menerabas idealitas polirik desentralisasi dan local governance yang inklusif. Masyarakat adat menjadi dikorbankan dalam gerak normalisasi kedaruratan demokrasi di semua aspek kehidupan.