Krisis iklim merupakan tragedi yang mengancam keberlangsungsan hidup di abad ini. Aktivitas manusia berupa industrialisasi massal, deforestasi besar-besaran, penggunaan energi fosil, dan penangkapan ikan laut secara berlebihan merupakan salah satu dari berbagai penyebab tidak teraturnya ekosistem bumi. Jika ketidakberaturan ini dibiarkan begitu saja, maka sama halnya kita mewariskan sebuah kehancuran bagi generasi yang akan datang.
Meski demikian, masih saja ada sebagian orang yang tidak mempercayai ancaman tersebut. Statista dalam artikelnya Where Climate Change Deniers Live mengungkapkan bahwa, berdasarkan survei di 25 negara pada 30 juli hingga 2020, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara penyangkal adanya krisis iklim disusul Amerika di peringkat kedua.
Data menunjukkan, 21% orang Indonesia dan 19% orang Amerika mengatakan bahwa perubahan iklim tidak nyata atau manusia tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim. Kemudian terdapat 3% orang Indonesia dan 5% di AS yang mengatakan bahwa perubahan iklim tidak terjadi sama sekali. Lalu di urutan berikutnya ada negara Arab Saudi dan Mesir, dua negara yang bergantung pada bahan bakar fosil untuk ekspor dan digunakan di dalam negeri dengan persantase yang sama, yakni 18%,
Padahal krisis Iklim yang menimpa bumi dewasa ini, selain berdampak pada naiknya suhu rata-rata bumi juga mengakibatkan berbagai dampak buruk lainnya. Mulai dari hilangnya terumbu karang sebagai rumah ikan, mencairnya es di kutub yang mengakibatkan naiknya permukaan laut sehingga pulau-pulau kecil tenggelam, hingga cuaca yang susah diramal karena ekosistem yang sudah tidak teratur.
Krisis Iklim dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sendiri secara eksplisit tidak pernah menyebutkan ‘krisis iklim’. Akan tetapi, secara implisit, di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah hukum yang menjadi pedoman hidup serta kisah-kisah hikmah yang bisa dipetik ibrah dan pelajaran darinya dalam menyikapi masalah krisis iklim yang mengancam abad ini. Salah satunya kisah Al-Qur’an dalam surat Al-A’raf 130:
وَلَقَدْ اَخَذْنَآ اٰلَ فِرْعَوْنَ بِالسِّنِيْنَ وَنَقْصٍ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
Terjemahan :
Dan sungguh, Kami telah menghukum Fir‘aun dan kaumnya dengan (mendatangkan musim kemarau) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran.
Ayat tersebut memberikan pelajaran kepada kita untuk memperhatikan cuaca dan iklim, serta pelajaran untuk tidak merusak keseimbangannya. Kemarau panjang yang terjadi di masa itu, bisa saja karena adanya kerusakan yang dilakukan oleh Fir’aun dan pengikutnya sehingga mengakibatkan sungai Nil yang merupakan satu-satunya sumber air di Mesir berkurang alirannya. Pasokan air yang minim akhirnya berdampak pada gagalnya hasil bumi, dan minimnya hasil bumi berimbas pada kelaparan akut yang berkepanjangan.
Meskipun ayat tersebut menceritakan Fir’aun dan pengikutnya, akan tetapi hikmah serta pelajaran yang terkandung di dalamnya berlaku sepanjang zaman dan berlaku di berbagai tempat. Karena krisis iklim adalah masalah global di abad ini, maka ayat ini berlaku bagi seluruh umat manusia yang tinggal di bumi.
Kemudian, Allah berfirman setiap kerusakan di muka bumi tidak lain adalah ulah tangan manusia itu sendiri, sebagaimana Al-Qur’an surat Ar-Rum 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Terjemahan
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Oleh karena itu, krisis iklim beserta dampak yang menyertainya tidak lain merupakan dampak dari aktivitas manusia seperti industrialisasi massal, deforestasi besar-besaran, penggunaan energi fosil, penangkapan ikan laut secara berlebihan, dan lain sebagainya.
Tetapi sangat disayangkan, berdasarkan data yang dipaparkan di atas, beberapa negara yang mayoritas beragama islam malah menjadi penyangkal ancaman krisis iklim. Padahal pemasangan alat pendingin seperti AC atau kipas angin dalam jumlah banyak di masjid-masjid merupakan tanda nyata naiknya suhu permukaan bumi akibat krisis iklim.
Oleh sebab itu, Allah melarang manusia untuk membuat kerusakan di muka serta perintah untuk senantiasa menjaganya, sebagaimana Al-Qur’an surat Al-A’raf 56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Terjemahan
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.
Akhirul Kalam
Krisis iklim adalah ancaman nyata bagi kehidupan umat manusia. Aktivitas produksi-konsumsi manusia yang sejak abad 18 lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi sebagian orang daripada keberlangsungan ekosistem, secara cepat atau lambat merupakan bom waktu yang berimbas pada rusaknya bumi yang dihuni oleh manusia itu sendiri.
Padahal Al-Qur’an telah memberi peringatan kepada kita untuk senantiasa menjaga bumi, memberi pelajaran tentang bagaimana kondisi umat yang membuat kerusakan, dan melarang segala bentuk usaha yang berdampak pada kerusakan alam.
Oleh karena itu, jika seorang muslim benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, maka pasti ia akan turut serta dalam segala bentuk perjuangan mempertahankan ekosistem bumi, sebab jika tidak, sama saja kita mewariskan sebuah kehancuran untuk anak cucu kita nanti.
Wa Allahu a’lam
DAFTAR BACAAN
Buchholz, Katharina. (3 Desember 2020) “Where Climate Change Deniers Live”. Statista.com. Diakses pada 25 Juni 2022
Tajudin, Qoris. (3 April 2020) “Perubahan Iklim Dalam Al-Qur’an”. ForestDigest.com. Diakses pada 25 Juni 2022
Penulis
Fahmi Saiyfuddin pengurus Komite Nasional FNKSDA dan Pengajar di Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, penulis dapat ditemui di sosial media instagram & twitter dengan nama @pamoy_syn